May 23, 2009

Milisi Wilayah Perbatasan

ASKAR WATANIAH, WUJUD MILISI WILAYAH PERBATASA
Oleh Harmen Batubara *)

Belakangan ini berbagai berita yang memperburuk citra persahabatan kedua negara serumpun, khsususnya dengan Malaysia boleh dikatakan tidak pernah sepi. Hal seperti itu telah ada sejak sebelum mahkamah internasional memutuskan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik syah pemerintah Malaysia. Demikian pula dengan ragam berita tentang TKI/TKW, semua itu memperlihatkan sensitivitas dan besarnya harapan agar kedua belah pihak dapat memahami posisinya masing-masing. Besarnya ketergantungan tenaga kerja Indonesia atas lapangan kerja yang tersedia di negeri itu telah meruntuhkan segalanya. Bagi mereka yang merasakan dan melihat langsung dinamikanya memang kerap harus mengurut dada.
Meski sesungguhnya, dalam berbagai hal kondisi seperti itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Khususnya bagaimana susahnya aparat di sana menstranformasikan pola tindak, pola laku dan pola sikap dari para TKI/TKW agar sesuai dengan pola dan budaya negeri itu, agar sesuai dengan tingkatan kemajuan yang mereka capai. Kini muncul pula berita tentang pemuda perbatasan Indonesia yang dilatih jadi ”milisi” Malaysia untuk menjaga wilayah perbatasan; untuk kesekian kalinya kita terkejut, heran dan penasaran. Begitu besarnyakah keinginan untuk merusak hubungan bertetangga kedua negara serumpun itu ? Padahal di sisi lain sangat banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi persahabatan yang ada. Namun satuhal yang sangat mendasar, sudah saatnya kita mengoptimalkan sistem pertahanan negara kita sendiri.
... Askar Wataniah.Askar Wataniah Malaysia (AW) adalah badan sukarela khas Malaysia, merupakan pasukan cadangan Tentara Darat Malaysia. Berbeda dengan kita di Indonesia yang belum dapat mewujutkan pasukan cadangannya, maka AW merupakan satu sumbangan murni dalam menyambut seruan Ibu pertiwi Malaysia sesuai dengan konsep HANRUH (Pertahanan Menyeluruh) yang ditetapkan dalam Dasar Pertahanan Negara. Ditilik dari sejarahnya, pasukan sukarela sudah ada di Tanah Melayu Malaysia sejak tahun 1861, yang kemudian dikenal dengan 'Penang Volunteer'. Tahun 1902 negeri-negeri Melayu Bersekutu (FMS) yang terdiri dari Negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang membentuk unit sukarela yang disebut 'Malay State Volunteer Rifles' (MSVR), pasukan sukarela tersebut terus berkembang dan saat timbul keadaan darurat di tanah Melayu pada tahun 1948, dibentuklah Pasukan Kawalan Kampung (Home Guard), hingga pada bulan Januari 1959 kemudian dikenal dengan AW Malaysia.
AW Malaysia mempunyai misi yang sama dengan pasukan regular, namun dengan peranan yang berbeda, seperti mengupayakan agar pasukan regulernya tetap dapat bekerja sama dan bersama-sama dengan AW menggelar kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan kepentingan strategik negara di masa darurat atau perang. Membantu pasukan reguler dalam operasi keamanan, dan dalam hal ini AW harus bersedia untuk dimobilisasi dan dioperasikan bila keadaan memerlukan, termasuk dalam pengamanan wilayah perbatasan serta membantu dan kerjasama dengan pemerintahan sipil pada masa-masa bencana alam dan keadaan darurat.
AW telah diorganisasikan dan distrukturkan dalam komponen-komponen berikut seperti pasukan tempur, bantuan tempur, bantuan administrasi, bantuan pelayanan, bantuan pakar dll. AW dalam pasukan tempur disebut Seri 500 yaitu Seri 500 Askar Wataniah. Elemen ini berperan sama seperti pasukan-pasukan reguler infantri. Pada saat ini terdapat enam belas rejimen Seri 500 AW di seluruh Malaysia. Setiap rejimen mempunyai tiga bataliyon yang ditempatkan di beberapa lokasi seperti Rejimen 501 Tebrau, Johor Bharu; 502 Sungai Buloh, Selangor; 503 Ipoh, Perak sampai dengan 510, Sri Rejang, Sibu Sarawak dan 516, Kukusan Tawau, Sabah. Pengorganisasian AW dilakukan secara profesional dan salah satu saryat untuk menjadi anggotanya disamping harus warga negara Malaysia adalah adanya Akte Kelahiran. Sehingga berbagai isu yang belakangan marak tentang pelatihan WNI jadi milisi Malaysia untuk menjaga perbatasan, pada kenyataannya jauh dari kemungkinan, terlebih lagi semua pejabat Indonesia terkait telah memberikan klarifikasi bahwa berita tersebut belum terbukti.
Makin Tidak Jelas
Kalau di Malaysia, mereka telah mampu menyandingkan secara serasi antara komponen utama dan cadangan, maka sebaliknya system pertahanan kita semakin tidak jelas, para pemerhati pertahanan kita malah justeru mempertanyakan adakah sebenarnya “grand design” pertahanan yang kita miliki. Sebab pada kenyataannya, perbedaan antara apa yang ada pada UUD dan UU pertahanan justeru bertolak belakang. Lihat misalnya pada UUD. Sesuai amanat UUD 45 pasal 30 ayat-2; Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Kepolisian Negara RI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Tetapi kemudian pemerintah dan badan legislatif telah menetapkan kebijakan pemisahan antara TNI dengan kepolisian negara melalui TAP MPR RI No.VI tahun 2000 dan Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang peran dan tugas militer terhadap pertahanan negara dan penanganan ancaman non militer terhadap keamanan negara. Dapat kita temukan dengan jelas bahwa ketetapan tersebut telah mengaburkan pengertian ”pertahanan” dengan ”kemanan” sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 pasal 30 ayat 1s/d5. Hal ini telah bertentangan dengan UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menjadi tugas TNI yang didukung oleh komponen cadangan dan pendukung.
Ditengah berbagai permasalahan bangsa dan dihadapkan dengan keterbatasan anggaran kita perlu memikirkan sistem pertahanan kita secara sungguh-sungguh. Saat ini persoalan yang mendesak dan menjadi kewajiban negara adalah perumusan dan penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI, kelompok cadangan dan pendukung, dan ini sangat terkait dengan visi politik dan transformasi militer yang dimiliki pemerintah yang sejatinya, tertuang dalam UU tentang Kemanan Nasional. Di tengah keterbatasan perekonomian bangsa saat ini persoalan yang mendesak dan menjadi kewajiban negara adalah perumusan dan penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI, dan ini sangat terkait dengan visi politik dan transformasi militer yang dimiliki bangsa.
Memang ada berbagai kendala; pertama, belum jelasnya konsep pertahanan keamanan negara, akan berkonsekwensi pada tata hukum yang mengatur fungsi dan tugas TNI yang berdampak pada kebijakan dan strategi internal TNI dan ujung-ujungnya juga akan mempengaruhi Postur TNI.; kedua, persoalan anggaran TNI yang sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan, ahirnya juga akan membuat fungsi dan tugas TNI sebagai alat pertahanan negara tidak bisa maksimal, dan akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas teknologi Alutsista yang dimiliki dan penguasaan teknologi dalam menjalankan fungsi pertahanan negara di era teknologi IT dewasa ini.
Terus terang, kalau melihat penampilan prajurit TNI melakukan operasi di perbatasan antar negara, apakah itu di daerah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan atau RI-PNG di Papua, maka kesan yang tidak bisa dibedakan adalah polanya yang mirip tentara milisi. Kalau melihat tendanya, yang mereka pakai umumnya adalah tenda plastik lokal, cara mereka berpakaian juga tak memakai uniform dengan lengkap. Artinya kalau orang asing melihatnya pasti asumsinya, mereka sedang melihat tentara milisi lagi menjaga perbatasan. Semua itu berujung dari terbatasnya sarana dan prasarana penunjang; tentang tenda misalnya, mereka punya tenda pleton, tenda regu dan sejenisnya tetapi untuk membawanya kemana-mana ?
Dahulu masih ada tenaga bantuan yang berupa tenaga bantuan orang (TBO) dari masyarakat lokal, yang secara sukarela mau mengangkatkan barang-barang prajurit hanya dengan imbalan rokok dan makan seadanya; tetapi di zaman here gene, siapa yang mau? Karena itu, lebih baik mereka beli plastik dan bentangkan begitu saja, untuk tempat tidur mereka bisa buat dari dahan kayu lokal, sudah itu dukungan obatnya juga sangat terbatas. Umumnya, kalau ada penugasan seperti ini, 80 % personilnya pasti kena malaria.
Yang berkembang adalah, rasa tanggung jawab sang komandan. Siapapun komandannya pasti ingin agar anak buahnya bisa bertahan, sehat serta kondisi fisik dan morilnya tetap terjaga. Salah satu cara khas TNI adalah melakukan pendekatan dengan rakyat, mereka bilang ”ngeter” atau pendekatan teritorial istilah mantan kasad Riyamizard Riyakudu; berbaik-baik dengan rakyat. Pendekatan ini akan sangat tergantung dengan wibawa dan karakter sang komandan. Kalau komandan lemah iman, maka pendekatan itu bisa menjadi pola-pola terselubung mendorong kegiatan ke arah illegal. Bisa illegal kayu, damar, gaharu, ikan serta sekian macam ilegal lainnya (jangan-jangan bisnis berbau illegal yang ada, justeru adalah efek samping seperti ini, semoga saja tidak).

No comments: