Ambalat Kenapa Malaysia mempertahankan yang bukan miliknya.
Malaysia dalam perundingan Wilayah Perbatasan.
Oleh : Prof Dr Hasjim Djalal
Selama ini, pihak Malaysia tidak pernah memberikan sedikit tolerasi meskipun sedikit, terhadap semua perundingan batas dengan Negara itu. Misalnya ketika dua Negara sepakat untuk mendirikan titik nol bersama, antara provinsi Kalimantan Barat dan Sarawak di Jagoi Babang-Serikin, padahal hanya titik simbolis saja, tanpa ada arti apa-apa, dan kedua Negara sudah sepakat pula. Tapi pada saat akan dilaksanakan Negara Malaysia itu malah mengulur waktu, dengan alasan di wilayah itu masih ada silang sengketa. Padahal dalam waktu yang sama, mereka mengajukan pemasangan kabel listrik tegangan ekstra tinggi sepanjang 520km dari Tanjung Datu Kalimantan Barat ke Semananjung, Malaysia. Begitu juga dengan protes mereka atas jalan setapak yang dibuat warga sebatik, di Pulau Sebatik. Padahal di kedua wilayah itu nyata-nyata masih di dalam wilayah Indonesia.
Pendeka kata, banyak hal terkait perbatasan yang pihak Malaysia sangat picik pikirannya dan selalu mikirkan untungnya saja. Karena itu ada baiknya kita melihat bagaimana Kasus Ambalat dari kacamata seorang Pakar hokum laut Indonesia Prof.Dr Hasyim Djalal terkait Ambalat. Seperti yang dimuat dalam;
Hasjim Djalal, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia, di sunting oleh Dr.Ir. Sobar Sutisna,Msurv,Sc.,Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal Tahun 2006....
Pada dasarnya persoalan Ambalat adalah buntut dari masalah Sipadan-Ligitan yang berkembang sejak 1969. Pada 1997 Indonesia sepakat dengan Malaysia untuk menyelesaikan kasus kepemilikan Sipadan- Ligitan melalui Mahkamah Internasional, yaitu apakah kedua pulau tersebut, berdasarkan hukum Internasional masuk wilayah Indonesia atau Malaysia. Mahkamah tidak diminta menetapkan batas-batas laut territorial,zona tamabahan,ZEE, maupun Landas kontinen. Batas-batas laut tersebut akan dirundingkan oleh kedua Negara setelah keputusan Mahkamah mengenai kepemilikan atas Sipadan dan Ligitan.
Malaysia dengan peta yang diterbitkannya tahun 1979 telah menetapkan secara sepihak batas laut antara Sabah dan Kalimantan Timur dengan antara lain:
a. Memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayahnya sebagai titik dasar
b. Menarik garis dasar lurus(garis pangkal) dari Sipadan sampai ke perbatasan darat Indonesia – Malaysia di pulau Sebatik
c. Menarik garis tengah antara garis dasar Malaysia tersebut dan garis dasar perairan Kepulauan Indonesia berdasarkan UU No.4/Prp. 1960 di pulau-pulau sebelah timur Provinsi Kalimantan Timur.
Indonesia menolak kebijakan sepihak, antara lain karena:
a. Status pulau Sipadan-Ligitan yang masih dipersoalkan pada waktu itu
b. Malaysia tidak berhak menarik garis lurus dari Sipadan ke perbatasan Pulau Sebatik, karena bukan Negara kepulauan
c. Andaikatapun Sipadan – Ligitan merupakan wilayah Malaysia, banyak praktek hukum internasional menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil yang terletak jauh di tengah laut belum tentu berhak atas garis tengah dengan wilayah Negara yang ada di hadapannya.
Dalam sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, Indonesia sebagai tetangga yang baik dan ingin mengembangkan kerjasama dengan Malaysia memang pernah (tahun 1969) menerima posisi Pulau Jarak di tengah-tengah selat Malaka sebagai titik dasar (titik pangkal) untuk menentukan garis tengah dengan pantai Sumatera. Malaysia kemudian memanfaatkan “kesediaan” itu untuk berusaha menarik garis dasar lurus antara pulau Jarak dan pantai Malaysia Barat (dekat One Fathom Bank) jauh ke selatan yang panjangnya lebih dari 200 mil. Cara ini ditentang Indonesia karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum laut Internasional. Negara Nusantara seperti Indonesia kemudian, oleh Konvensi Hukum Laut 1982, diperkenankan menarik titik dasar (garis pangkal) Nusantara sampai maksimum 100 mil dengan beberapa pengecualian sampai sepanjang 125 mil.
Praktek lainnya adalah di laut Natuna. Di sebelah barat Laut Natuna berlaku prinsip garis tengah murni antara pulau-pulau Anambas dan Natuna yang terluar dengan pulau-pulau Malaysia terluar yang ada di pantai timur semananjung Malaysia. Tetapi antara Natuna dan Serawak, garis batas dasar laut tidak seluruhnya merupakan titik tengah antara Natuna dan Sarawak. Hal ini disebabkan antara lain, karena Indonesia “menghormati” konsesi yang pada 1956 telah diberikan oleh Inggeris/Sarawak kepada Shell, sehingga garis batas dasar laut di daerah tersebut kemudian menjadi semacam” garis batas kompromi”. Dari keseluruhan pengalaman ini, Indonesia berpegang teguh pada prinsip ini kemudian mendapat pengakuan dunia internasional sejak konvensi hukum laut PBB 1982.
Khusus mengenai pantai timur Kalimantan Timur, sebelum masalah Sipadan-Ligitan mencuat, Indonesia telah pernah memberikan konsesi di daerah itu kepada perusahaan Jepang, Japex. Malaysia tidak pernah memprotes konsesi tersebut. Malah kemudian Malaysia hanya memberikan konsesi-konsesi di sebelah utara dari konsesi Japex tersebut. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya, termasuk minyak dan gas sampai sejauh 200 mil dari garis-garis dasar kepulauan Nusantara di pantai Kalimantan Timur.
Sebaliknya Malaysia menganggap Ambalat sebagai kelanjutan alamiah dari pulau Sipadan-Ligitan. Padahal Sipadan dipisahkan oleh laut yang cukup dalam ( lebih dari 2000 meter) dari Sabah dan Sipadan secara geologis adalah “seamount”(gunung laut), sedangkan Ligitan adalah pulau-pulau karang. Kelanjutan alamiah dari Sabah pada dasarnya tidak sampai ke Ambalat karena dipisahkan oleh laut yang dalamnya melebihi 2000 meter, walaupun sebagian mungkin terletak dalam garis tengah sama jarak antara Sipadan dan Kalimantan Timur. Di sini, fakta geologi menunjukkan bahwa, Ambalat merupakan kelanjutan alamiah Kalimantan Timur ke laut Sulawesi.
Kasus Karang Unarang terletak di dalam batas kurang dari 12 mil dari pantai dan menjadi garis dasar Nusantara Indonesia di pantai timur Kalimantan, dan jauh di luar 12 mil dari pantai Sabah ataupun Sipadan. Karena itu, Karang Unarang memang jelas terletak di dalam laut wilayah Indonesia.
Ada beberapa hal kenapa belakangan ini Malaysia seperti menantang kepemilikan serta hak-hak Indonesia, bukan saja terhadap wilayah kedaultan (sovereignty) Indonesia (K.Unarang), tetapi juga terhadap hak-hak berdaulat (soverign rights) Indonesia atas kekayaan alam ZEE ataupun di landas kontinen kawasan blok Ambalat, antara lain ;
a. Malaysia menarik garis pangkal lurus laut wilayah antara Sipadan dan perbatasan darat Indonesia-Malaysia di pulau Sebatik. Cara ini ditentang oleh Indonesia dan Negara-negara lain karena tidak sesuai dengan hukum internasional.
b. Malaysia mungkin menjadi terlalu percaya diri dan melihat berbagai isu politik dan kesulitan-kesulitan Indonesia di dalam negeri dewasa ini sebagai peluang dengan harapan Indonesia tidak akan menghadapi Malaysia secara sungguh-sungguh.
c. Malaysia mungkin berusaha menuntut sebanyak mungkin terlebih dahulu sebelum memulai berunding dan kemudian baru mencari “kompromi”.
d. Malaysia barangkali bersedia berdialog mengenai Ambalat dengan konsesi tanpa membahas perbatasan ZEE antara kedua Negara di selat Malaka dan laut Cina Selatan yang selalu dikehendaki Indonesia.
AMBALAT, Menurut Konvensi Hukum Laut PBB (Unclos’82), sebuah Negara pantai seperti Indonesia, berhak atas laut territorial 12mil, Zona Tamabahan 24 mil,ZEE 200 mil, dan LK dasar laut 350 mil atau lebih, dihitung dari garis pangkal. Pada laut territorial berlaku hak kedaultan penuh( sovereignty), sedangkan pada zona di luar itu berkalu hak berdaulat (sovereignty), pada wilayah ini Negara tidak berdaulat penuh, hanya berhak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya. Pengaturan seperti ini didasari oleh UU Internasional atau UNCLOS. Ambalat adalah blok dasar laut landas kontinen di sebelah timur Kalimantan, berada pada jarak lebih dari 12 mil.
No comments:
Post a Comment