December 21, 2009

Konser Koin Prita, Puncak Perlawanan

Asap rokok memenuhi ruangan dan musik keras mengiringi goyangan badan muda-mudi gaul. Sementara itu, di atas panggung Hard Rock Cafe Jakarta, terlihat siluet perempuan berjilbab, Minggu (20/12). Kaum punk, anak gaul, dan wanita berjilbab bersatu demi Prita Mulyasari! Musisi Indonesia spontan datang menyumbangkan suara untuk menggalang dana bagi Prita Mulyasari di Hard Rock Cafe Jakarta. Mereka berswadaya membuat Konser Koin (Kepedulian Orang Indonesia) untuk Keadilan. Ini simbol perlawanan damai, seperti gerakan Ahimsa yang diusung Gandhi dalam perjuangan India.

Demikian pula di Score, Bandung, Jawa Barat, para musisi menggalang Konser Koin untuk Keadilan. Siluet wajah Prita dengan tulisan ”Free Prita Now” dipasang di sudut-sudut ruangan dan kaus panitia. ”Para musisi yang datang hari ini sama sekali tidak dibayar. Kalau tidak dibatasi, sudah ada 80 lebih grup band yang mau ikut menyumbang dalam acara ini,” kata Ketua Panitia Konser Koin untuk Keadilan Adib Hidayat.

Band-band terkenal, seperti Slank, GIGI, Nidji, Cokelat, Sheila on Seven, Ada Band, Andra and The Backbone, Padi, She, Drive, Seringai, Funky Kopral, Kunci, Marvells, Drew, Saykoji, Ronaldisko, Endah N Rhesa, Black Star, Domino, Gruvi, J-Flow, dan Patent tampil bergiliran di panggung. Bahkan, sejumlah penyanyi terkenal juga secara bergiliran naik ke pentas, seperti Ari Lasso, Titi DJ, Sherina, Audi, dan Maylaffayza. ”Kalau tidak dibatasi, mungkin sampai tiga hari konser juga tidak akan cukup waktunya bagi semua band tampil,” ujar Adib. Konser dibuka band Black Star sekitar pukul 15.30. Selanjutnya band yang khusus datang dari Kalimantan, yakni Patent, memainkan dua nomor yang dibuka dengan lantunan instrumen sape, kecapi khas Kalimantan, yang lentingannya terdengar jernih dan indah.

Lagu untuk Prita

Giring Ganesha, vokalis Nidji, secara khusus mengarang lagu untuk Prita dan ”Prita-Prita” lain di Indonesia, yakni ”Harapan untuk Menang”. Giring sebelumnya menyanyikan ”Pahlawan Mimpi” yang merefleksikan sosok Prita. ”Peristiwa Prita ini supaya menjadi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah kita supaya berlaku adil terhadap rakyat,” kata rocker kocak, Candil, seusai menyanyikan dua lagu selepas Nidji tampil. Belum lama konser mulai, lebih dari dua ratus orang sudah berdesak-desakan di lantai satu Hard Rock Cafe.

Lantai atas kafe tersebut juga terlihat dipadati pengunjung. Di pintu masuk, terlihat orang masih menyemut menunggu giliran masuk untuk menonton Konser Koin Untuk Keadilan. ”Saya datang sejak siang untuk menonton Konser Koin untuk Prita. Gemas dan marah rasanya melihat tindakan hakim dan jaksa kepada Prita. Masih banyak lagi rakyat kecil yang mengalami nasib serupa di Indonesia,” kata Judi Harsono, warga Cengkareng, Jakarta Barat, yang sengaja datang untuk memberikan dukungan moral. Judi Harsono dan sembilan teman sekantor sudah mengumpulkan Rp 600.000 uang recehan untuk membayar keputusan para hakim yang memutus perkara Prita.
Edi Bonetsky, seorang seniman jalanan dari kelompok Sirkus Perkusi Anak Langit, Tangerang, bersama beberapa teman yang berpenampilan ala jalanan ikut berbaur di dekat bar di depan panggung. ”Prita itu bagian dari 240 juta rakyat Indonesia yang harus dibela. Kita, waktu sidang Prita di Pengadilan Negeri Tangerang, berhasil mengumpulkan koin sebanyak Rp 8 juta dalam tiga jam mengamen. Simpati masyarakat memang luar biasa,” kata Edi. Menjelang malam, suasana makin hangat di Hard Rock Cafe. Silih berganti band dan penyanyi tampil di panggung. Sejumlah siswa sekolah dasar datang dari jauh untuk menyampaikan satu kotak koin bernilai sekitar Rp 700.000.

Demam Prita Mulyasari melanda masyarakat Indonesia di mana-mana. Prita adalah simbol perlawanan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan yang angkuh, bebal, dan menjadi hamba pemilik modal. Merasa senasib dan simpati, komunitas seni pun menggalang konser untuk mengumpulkan dana bagi Prita dan jutaan Prita-Prita lain di Indonesia yang kerap kali ditindas perangkat penegak hukum. Prita adalah bola salju sosial dan tonggak sejarah gerakan perlawanan masyarakat dari semua lapisan yang tak kenal batas dan dilakukan dengan santun dan damai. (ONG, Kompas, 21 Desember 2009).

No comments: