June 10, 2009

Wilayah Perbatasan, Sumber Konflik Baru

WILAYAH PERBATASAN, SUMBER KONFLIK BARU
Oleh : Harmaen Batubara *)

Sebagai Negara kepulauan dengan julukan Negara benua maritim, kita mempunyai perbatasan dengan sepuluh Negara tetangga; tiga diantaranya disamping mempunyai perbatasan darat juga mempunyai perbatasan wilayah laut. Dalam sejarahnya, hanya Negara-negara yang sudah maju dan berbudaya sajalah kayaknya yang mampu melihat batas tak lebih dari sebatas wialayah administrasi saja dan sama sekali tak ada masalah dalam hal mereka berintekrasi baik untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan sehari-hari lainnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Negara berkembang, lebih-lebih bagi Indonesia sendiri serta termasuk pula dengan Negara tetangganya. Sebutlah misalnya dengan eksiden penembakan dua orang nelayan Indonesia oleh petugas patroli keamanan laut Malaysia, yang oleh Komandan TNI-AL Pangkalan I Belawan Laksamana Pertama Sadiman memastikan kejadian itu masih di perairan Indonesia (Kompas 21/9/2006).
Batas laut antara Indonesia dan Malaysia di selat Malaka sampai saat ini masih terdapat beberapa bagian yang belum disepakati oleh kedua negara, dan masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda. Penetapan batas laut kedua negara sesungguhnya sudah di mulai sejak tahun 1969, tepatnya tanggal 27 oktober 1969 kedua negara sepakat terhadap 25 titik koordinat, 10 titik di Selat Malaka dan 15 titik di Laut China Selatan serta telah diratifikasi dengan Peraturan Presiden RI no 89 Th 1969 pada tanggal 15 November 1969. Kemudian delapan titik lagi pada tahun 1970 dan telah diratifikasi dengan UU RI nomor 2 pada tanggal 10 Maret 1971. Artinya meskipun pada beberapa lokasi sudah disepakati akan tetapi pada area tertentu dan tentu saja areanya masih sangat luas di kedua belah pihak belum sepakat.
Yang menjadi tanda Tanya adalah, kenapa Patroli keamanan laut Melaysia melakukan penembakan; hal yang sama juga di lakukan oleh patroli keamanan laut Papua New Guinea di Papua beberapa waktu yang lalu. Padahal patroli keamanan laut Indonesia boleh dikatakan tidak pernah melakukan hal serupa kepada para nelayan negara tetangganya. Para analis boleh saja melakukan perkiraan kalkulasi, tetapi pada kenyataannya inilah sebenarnya kondisi yang lagi “in” pada petugas keamanan kita, “sangat disiplin” dan ragu-ragu mengambil tindakan. Mereka merasa dan trauma, sebab kalau salah prosedur maka pekerja HAM dan kalangan politisi dari negaranya akan “menghabisi mereka”, melebihi perlakuan terhadap penjahat perang sekalipun, hal lainnya adalah tetangga kita sudah kelewat melecehkan; bagi mereka barangkali sudah persis seperti lakon “ serial Republik BMM”, suatu negara sekarat yang dikelola oleh tokokh-tokoh yang benar-benar mabok.... MASALAH PERBATASAN Dari semua masalah perbatasan yang kita punyai, baik itu perbatasan darat dengan negara Malaysia sepanjang ± 2004 km di Pulau Kalimantan, dengan Papua New Guinea sepanjang ± 770 km di Papua, dan dengan Timor Loro Sae sepanjang ± 300 km di Nusa Tenggara; begitu juga dengan perbatasan laut dengan India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Philifina, Kepulauan Palau, PNG, Australia dan Timor Loro Sae meskipun sudah dimusyawarahkan bersama sejak tahun awal 70an, tetapi sampai sekarang belum ada satu perbatasanpun yang sudah dapat dikatakan selesai. Secara teknis sebenarnya penyelesaian masalah batas antar kedua negara tidak susah, tetapi yang menjadi persoalan adalah terlalu banyak institusi yang terlibat, dan tidak fokus. Pendek kata, belum ada persoalan perbatasan antar kedua negara yang kedua negara mempunyai rencana untuk menuntaskan permasalahan batasnya dalam jangka waktu tertentu. Yang ada hanyalah program yang mengalir begitu saja, dan setiap ganti pejabat ikut pula berganti kebijakan.
Perbatasan darat antara RI-Malaysia di Pulau Kalimantan, sudah dimulai sejak tahun 1973; pada tahun 2000 proses demarkasinya sudah selesai, tetapi kedua negara mempunyai perbedaan di sepuluh lokasi. Malaysia hanya mengakui sembilan lokasi, tetapi Indonesia bilang ada sepuluh lokasi; dan kedua negara tidak sepakat juga dalam jumlah lokasi yang bermasalah ini.Persoalannya sebenarnya bukan hanya pada sembilan atau sepuluh, tetapi kedua negara justeru tidak punya program yang jelas serta waktu yang terukur untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Jadi sejak tahun 2001, katakanlah begitu, permasalahan yang kesepuluh lokasi itu tetap saja mengambang terkendali. Masing-masing terlihat segan untuk memulai.
Kalau masalah batas dikaitkan dengan dinamika perubahan regional serta lokasi NKRI yang sangat terbuka dan posisinya berada pada pertemuan antara benua Asia dan Australia serta samudra Hindia dan Samudra Pasifik, menjadi wilayah vital bagi kepentingan dan pembangunan negara lain, maka sesungguhnya masalah perbatasan ini dipercaya adalah “ the rising problems” pada masa-masa yang akan datang. Persoalan batas tidak saja akan mengganggu kenyamanan bertetangga tetapi justeru akan merupakan “celah masuk” bagi permasalahan kerjasama antar kedua negara.
Belakangan ini, masalah perbatasan sebenarnya menjadi persoalan yang sangat dominan serta sangat menyita dana dan waktu, terutama kalau hal itu dikaitkan dengan masalah perbatasan pemerintahan dalam negeri serta dinamika pemekaran sesuai dengan ritme otonomi daerah. Pada saat ini ada masalah batas di Padangsidempuan, Deliserdang, Kota Medan, Serdang Bedagai,ada pula antara Kota Bukittinggi dengan kabupaten induknya; ada pula masalah Bangka-Belitung ; antara Prov. Jambi dan Kep.Riau soal pulau Berhala; Kota Balikpapan dengan Kab.Penajam Pasir Utara; Kota Bontang dengan Kabupaten Kutai Kartanegara; Belum lagi yang di sulawesi sampai dengan antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat dll.dll. Pendek kata masalah perbatasan saat ini sungguh riuh rendah; padahal ke depan sudah ada pula 10 kabupaten/ Kota yang bakal dimekarkan. Anehnya itu, belum ada tanda-tanda akan terselesaikan.
PERLU TEKAD
Meskipun otonomi daerah sudah berjalan, tetapi penegasan batas, baik itu antar negara maupun antar provinsi/Kabupaten/Kota masih belum berubah. Semuanya masih dikerjakan oleh pemerintah pusat. Salah satu yang jadi sangat memprihatinkan adalah karena semuanya dikerjakan dari pusat, baik itu tenaga ahli, para pelaksana maupun peralatannya semua masih dari pusat, maka tentu saja biaya opresionalnya sangat besar. Sampai-sampai provinsi yang daerahnya menjadi batas antar negara itupun, sesungguhnya tidak tahu banyak dengan apa yang dilakukan oleh Tim penegasan batas antar negara diperbatasan daerahnya. Misalnya mulai dari tahun 1975, sampai pengukuran batas sepanjang 2004 km selesai, pihak provinsi hanya sekedar diberitahu saja. Mereka sama sekali tidak dilibatkan di lapangan dan bahkan belumpernah melihat peta atau daftar koordinat perbatasannya.Hal yang sama terjadi dengan Papua, NTT dengan sedikit berbeda disana sini.
Kedepan agaknya kebijakan seperti itu perlu disesuaikan dengan dinamika otonomi daerah; artinya daerah harus menjadi tuan rumahnya, keterlibatan pusat semestinya hanya bersifat supervisi serta memastikan segalanya berjalan sesuai dengan sebagaimana mestinya. Perubahan seperti ini tentu tidak bisa drastis dan sekaligus tetapi harus disesuaikan dengan dinamika lapangan; tetapi poros penanganannya sudah harus diubah sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh undang-undang.Jadi untuk perbatasan antar negara maka Depdagri (adminsitrasi), Dephan dengan Surta Angkatan, Bakosurtanal, (Teknis Pengukuran) dan Deplu(Perjanjian bilateral) tetap sebagai supervise tetapi pelaksana di lapangan sudah bisa ditangani oleh BPN, Topgrafi Kodam.dll. Sementara untuk perbatasan antar daerah juga relative sama; artinya “leading”nya tetap di Depdagri, Dephan dengan Surta Angkatan, dan Bakosurtanal sebagai supervise sementara BPN dan Topografi Kodam sebagai pelaksana.
Masalah lain yang sering menjadi kendala adalah pendanaannya yang belum jelas; selama ini biaya penegasan perbatasan ini dikoordinasikan oleh masing-masing pihak dengan Bappenas, tetapi dalam banyak hal baik itu Depdagri, Dephan dan Deplu merasakan bahwa biaya perbatasan ini hanya menambah beban atau mengurangi anggaran mereka yang sangat terbatas. Dephan misalnya, bagaimanapun prioritas mereka ada pada program pemenuhan kepentingan minimum pertahanan atau pada “filing the gap” ; sehingga kalau biaya perbatasan dibebankan kepada mereka jelas, akan sangat besar pengaruhnya pada pencapaian Tupoksinya. Depdagri yang tadinya bisa diharapkan akan mampu berbuat banyak, tetapi merekapun selalu bilang harus jelas adanya kaitan Undang-undang yang mengatakan bahwa tugas itu adalah tupoksinya.
Undang –undang seperti itu jelas tidak ada, karena yang menjadi dasar dari semua ini sebenarnya ada pada Undang-undang Survei dan Pemetaan. Padahal undang-undang ini belum ada. Memang ada satu masa dahulu telah digagas pembuatan RUUnya tetapi karena permasalahan pembagian rejeki dan Tupoksi antar Lembaga dan Deprtemen di pemerintahan, maka sampai sekarang UU itu tidak pernah jadi. Karenanya maka masalah pembiayaan serta penuntasan masalah perbatasan juga ikut jadi tidak jelas. Padahal masalah batas ini, baik itu batas dalam negeri atau antar negara sudah merupakan kewajiban mendasar bagi sebuah negara. Sama halnya kalau kita melihat sebidang tanah, kalau persil (batas-batas tanahnya) surat tanahnya tidak ada, mana mungkin kita akan membangun sesuatu diatasnya.

1 comment:

Agung Jatnika said...

Gimana kabarnya pak Harmen?
Artikelnya lengkap sekali Pak harmen, jadi belajar geografi kembali nih...thanks atas infonya yg luar biasa...